“Mengubur mimpi bahkan sebelum
bermimpi.”
Tersentak dengan ungkapan singkat
di atas dari sebuah blog teman. Jadi sadar entah apa yang merasuki diriku
beberapa tahun terakhir ini karena sering banget melakukan itu. Ya, buru-buru
menutup impian-impian karena TAKUT.
Aku kembali menusuri jejakku.
Dulu, ketika SD aku adalah anak yang biasa-biasa. Gak pinter, tapi juga gak
bodoh amat-amat sih. Ikutan lomba kagak pernah menang haha. Pernah suatu saat,
ada pesaing yang nyeletuk, “ Chelsea lagi chelsea lagi. Kalah terus tapi
maksain ikut lomba ya.” You know yang saat itu aku masih kecil, tentu tertohok
dengan olokan seperti itu dan langsung berikrar dalam hati, “NO MORE LOMBA! Aku
gak mau ikut-ikut lomba lagi!”
Tapi ikrar itu terpatahkan ketika
SMP. Di SMP mau tidak mau aku mengiyakan segala macam jenis lomba yang
ditawarkan. Entah mengapa saat itu aku menerimanya. Tapi percayalah, sampai
kelas 3 SMP pun tak satupun kejuaraan aku raih.
Hingga suatu hari, aku
memenangkan lomba. Aku berpikir kemenangan ini benar-benar bertubi-tubi,
berurutan. Mulai dari story telling, speech, cerdas cermat, teater bahasa
inggris, dan lomba menulis. Setelah melalang buana dengan segala macam
perlombacan bertahun-tahun lamanya, nikmatnya luar biasa bisa memperoleh
kejuaran demi kejuaran. Bahkan aku selalu menjadi juara kelas 3 besar, paling
banter 5 besar.
Rupanya aku sombong, sesuatu yang
tidak aku sadari. Sesuatu yang diam-diam dan sangat halus merasuki kalbuku. Aku
sama sekali tidak menyadari kalau sudah hampir setahun itu, teman sekelasku
tidak suka dengan aku! Jika bukan karena Dara, sahabatku hingga sekarang, yang
memberi tahu aku semua itu, tentu aku tak akan bisa berubah. Awalnya sakit
sekali, tentu aku sakit, bagaimana perasaanmu ketika seluruh teman sekelasmu
tidak menyukaimu? Itu baru sekelas, bagaimana dengan teman-teman di luar kelas?
Aku pasrah sudah, bagaimana
caranya memperbaiki hubungan dengan teman sekelas?? Ah aku bingung. Aku lebih
banyak diam, dan tidak berbicara jika tidak ditanya. Aku benar-benar
berhati-hati sekali dalam bersikap.
Kau tahu apa yang terjadi? Allah
Maha Baik, sangat baik. Lambat laun semuanya membaik. Kami membuat silsilah
keluarga kelas, dimana aku menjadi “mbah uti” dan Ariswara sebagai “mbahe”
alias mbah kakung. Aku benar-benar mendapatkan keluarga disana :’) Sejak saat
itu aku belajar bersikap dengan orang lain.
Masa SMA pun menanti. Aku rakus
dengan lomba sekarang. Semenjak itu aku selalu menang,
belum pernah aku jatuh
setelah kelas 3 SMP itu. Begitu tau teknik bagaimana bisa menang sebelumnya,
aku menjajali banyak lomba khususnya bahasa inggris. SMA memang ladang luas
untuk berlomba dan berkreasi.
Lagi-lagi aku ditegur. Bukan
sombong pada manusia, tapi aku sombong dengan kerendahan hatiku. Hmm, bingung
tidak? Aku sendiri juga bingung. Jadi aku justru merasa sudah jadi “orang baik”
karena sudah tidak sombong.
Jadi begini ceritanya, saat itu
aku mengikuti seleksi pertukaran pelajar. Tahap 1 saja aku sudah tidak lolos,
saat itu aku menangis meraung-raung, paginya mataku bengkak. Beberapa lomba aku
pun tak menang. Aku jadi menyadari, bahwa tak selamanya kita di atas, dan tak
selamanya kita di bawah. Namun kesedihanku dibayar dengan kejuaraan dari
Ekpresi Remaja Natasha, dimana disana aku mendapatkan juara sebagai “Best
Talent”. Setelah itu sengaja aku beristirahat untuk tidak mengikuti lomba-lomba dulu karena
fokus dengan UN dan SNMPTN.
Aku pun menjadi sasaran tidak
disukai kembali. Namun sekarang bukan teman sekelas, tapi dengan para senior.
Di OSIS aku pernah benar-benar tidak disukai oleh mereka karena sikapku yang
cenderung tidak sopan dan blak-blakan. Tapi bukankah Allah itu Maha Baik? Aku
ditegur juga oleh Mbak Kun, wakil ketua OSISku. Aku menangis lagi, sakit
rasanya mengetahui kenyataan aku kembali tidak disukai. Baiklah, aku harus
berubah. Dan perubahanku malah dibantu oleh para senior, kakak kelas. Mereka
ternyata baik sekali denganku :’) Bahkan sekarang aku justru sangat dekat
dengan mereka-mereka :’) Terimakasih kakak-kakak :’) Dengan kalian aku bisa
belajar :’)
Waktu berlalu. Sekarang aku sudah
menjadi mahasiswa. Aku masih tertarik dengan lomba-lomba. Alhamdulillah bisa
meraih juara di lomba menulis cerpen dan debat di UGM. Yang paling
membahagiakan adalah ketika aku mendapat beasiswa potongan SPP selama 2
semester. Terima kasih ya Allah terima kasih :’)
Namun aku merasakan perubahan
yang amat besar di diriku. Aku seperti kembali menjadi SD lagi. Ada perasaan
TAKUT untuk tampil. TAKUT untuk unjuk gigi kembali. Aku takut dengan sikapku
itu akan mengundang ketidaksimpatian orang lain lagi. Takut akan dianggap sok
dan sombong kembali. Padahal jauh di lubuk hatiku aku ingin bisa “bersuara”
seperti dulu. Aku sedih dengan keadaanku ini.
Dalam kegiatan pelatihan,
seminar, outbond, aku sekarang hanya diam dan sebagai penonton setia saja.
Padahal dulu itu aku bisa “bersuara”, bisa ramai, dan sungguh excited sekali.
Di organisasi pun sekarang cenderung pasif sekarang. Walaupun untuk masalah
kerja aku tetap berusaha maksimal mengerjakannya, namun aku jarang berbicara
mengutarakan pendapat. Aku seperti patung diam, bisu.
Baiklah, apa yang terjadi dengan
diriku? Aku jadi takut bermimpi yang tinggi-tinggi sekali. Allah...bantu aku :’(