Sabtu, 29 September 2012

Curhat

Awal kuliah di tahun kedua ini terasa banget sibuknya. Amanah organisasi dan kuliah super duper banyaknya. Badan uda mulai nunjukin capek sama pegel-pegel. Bejalar juga uda gak konsen lagi huhu.

Weekend nih.
Ah senengnya akhirnya bisa weekend. Ini ada waktu dikit buat nyempetin nulis blog. Ngungkapin semua ganjelan hati. Jadi, aku mulai kerasa "taste" dari kuliah yang sesungguhnya adalah di tahun kedua ini. Bener-bener diuji ini hati, raga, dan pikiran. Alhamdulillah, sampai saat ini masih lancar semua. 

Tapi pikiran juga melayang ke rumah :( Mama sakit :( Uda awal september kemaren mama mengeluhkan jantungnya yang tiba-tiba berdetak cepet banget, tekanan darah juga ngelonjak tinggi. Ah mama, jangan kenapa-kenapa ya :( Mama harus kuat, mama pasti bisa, mama harus sehat dan ceria lagi kayak biasanya :')

Alhamdulillah, baru aja hadiah yang aku ancang-ancang buat mama, terkabul. Waktu liburan aku ikut lomba essay ilmiah kedokteran se-nasional yang diadakan UB. Begitu tau mama kondisinya sering gak stabil, aku uda berikrar, ya Allah izinkan hamba bisa juara, juara ini untuk mama. Alhamdulillah, Allah ngabulin doaku. Aku dapet juara 1 :') 


Mama seneng banget katanya, ah lega banget denger mama seneng :) Kebahagiaan mama juga kebahagiaanku, kesedihan mama juga buat aku sedih berkali-kali lipat. Maafkan chelsea ma, selalu buat salah dan belum bisa jadi anak baik. Maafkan aku yang sering gak dengerin nasihat mama. Semoga aku bisa jadi anak sholehah ya ma, bisa buat mama bahagia, i love you mama.

Senin, 03 September 2012

Kisah Hidupku

“Mengubur mimpi bahkan sebelum bermimpi.”

Tersentak dengan ungkapan singkat di atas dari sebuah blog teman. Jadi sadar entah apa yang merasuki diriku beberapa tahun terakhir ini karena sering banget melakukan itu. Ya, buru-buru menutup impian-impian karena TAKUT.

Aku kembali menusuri jejakku. Dulu, ketika SD aku adalah anak yang biasa-biasa. Gak pinter, tapi juga gak bodoh amat-amat sih. Ikutan lomba kagak pernah menang haha. Pernah suatu saat, ada pesaing yang nyeletuk, “ Chelsea lagi chelsea lagi. Kalah terus tapi maksain ikut lomba ya.” You know yang saat itu aku masih kecil, tentu tertohok dengan olokan seperti itu dan langsung berikrar dalam hati, “NO MORE LOMBA! Aku gak mau ikut-ikut lomba lagi!”

Tapi ikrar itu terpatahkan ketika SMP. Di SMP mau tidak mau aku mengiyakan segala macam jenis lomba yang ditawarkan. Entah mengapa saat itu aku menerimanya. Tapi percayalah, sampai kelas 3 SMP pun tak satupun kejuaraan aku raih.

Hingga suatu hari, aku memenangkan lomba. Aku berpikir kemenangan ini benar-benar bertubi-tubi, berurutan. Mulai dari story telling, speech, cerdas cermat, teater bahasa inggris, dan lomba menulis. Setelah melalang buana dengan segala macam perlombacan bertahun-tahun lamanya, nikmatnya luar biasa bisa memperoleh kejuaran demi kejuaran. Bahkan aku selalu menjadi juara kelas 3 besar, paling banter 5 besar.

Rupanya aku sombong, sesuatu yang tidak aku sadari. Sesuatu yang diam-diam dan sangat halus merasuki kalbuku. Aku sama sekali tidak menyadari kalau sudah hampir setahun itu, teman sekelasku tidak suka dengan aku! Jika bukan karena Dara, sahabatku hingga sekarang, yang memberi tahu aku semua itu, tentu aku tak akan bisa berubah. Awalnya sakit sekali, tentu aku sakit, bagaimana perasaanmu ketika seluruh teman sekelasmu tidak menyukaimu? Itu baru sekelas, bagaimana dengan teman-teman di luar kelas?

Aku pasrah sudah, bagaimana caranya memperbaiki hubungan dengan teman sekelas?? Ah aku bingung. Aku lebih banyak diam, dan tidak berbicara jika tidak ditanya. Aku benar-benar berhati-hati sekali dalam bersikap.

Kau tahu apa yang terjadi? Allah Maha Baik, sangat baik. Lambat laun semuanya membaik. Kami membuat silsilah keluarga kelas, dimana aku menjadi “mbah uti” dan Ariswara sebagai “mbahe” alias mbah kakung. Aku benar-benar mendapatkan keluarga disana :’) Sejak saat itu aku belajar bersikap dengan orang lain.

Masa SMA pun menanti. Aku rakus dengan lomba sekarang. Semenjak itu aku selalu menang, 
belum pernah aku jatuh setelah kelas 3 SMP itu. Begitu tau teknik bagaimana bisa menang sebelumnya, aku menjajali banyak lomba khususnya bahasa inggris. SMA memang ladang luas untuk berlomba dan berkreasi.

Lagi-lagi aku ditegur. Bukan sombong pada manusia, tapi aku sombong dengan kerendahan hatiku. Hmm, bingung tidak? Aku sendiri juga bingung. Jadi aku justru merasa sudah jadi “orang baik” karena sudah tidak sombong.

Jadi begini ceritanya, saat itu aku mengikuti seleksi pertukaran pelajar. Tahap 1 saja aku sudah tidak lolos, saat itu aku menangis meraung-raung, paginya mataku bengkak. Beberapa lomba aku pun tak menang. Aku jadi menyadari, bahwa tak selamanya kita di atas, dan tak selamanya kita di bawah. Namun kesedihanku dibayar dengan kejuaraan dari Ekpresi Remaja Natasha, dimana disana aku mendapatkan juara sebagai “Best Talent”. Setelah itu sengaja aku beristirahat untuk tidak mengikuti lomba-lomba dulu karena fokus dengan UN dan SNMPTN.

Aku pun menjadi sasaran tidak disukai kembali. Namun sekarang bukan teman sekelas, tapi dengan para senior. Di OSIS aku pernah benar-benar tidak disukai oleh mereka karena sikapku yang cenderung tidak sopan dan blak-blakan. Tapi bukankah Allah itu Maha Baik? Aku ditegur juga oleh Mbak Kun, wakil ketua OSISku. Aku menangis lagi, sakit rasanya mengetahui kenyataan aku kembali tidak disukai. Baiklah, aku harus berubah. Dan perubahanku malah dibantu oleh para senior, kakak kelas. Mereka ternyata baik sekali denganku :’) Bahkan sekarang aku justru sangat dekat dengan mereka-mereka :’) Terimakasih kakak-kakak :’) Dengan kalian aku bisa belajar :’)

Waktu berlalu. Sekarang aku sudah menjadi mahasiswa. Aku masih tertarik dengan lomba-lomba. Alhamdulillah bisa meraih juara di lomba menulis cerpen dan debat di UGM. Yang paling membahagiakan adalah ketika aku mendapat beasiswa potongan SPP selama 2 semester. Terima kasih ya Allah terima kasih :’)

Namun aku merasakan perubahan yang amat besar di diriku. Aku seperti kembali menjadi SD lagi. Ada perasaan TAKUT untuk tampil. TAKUT untuk unjuk gigi kembali. Aku takut dengan sikapku itu akan mengundang ketidaksimpatian orang lain lagi. Takut akan dianggap sok dan sombong kembali. Padahal jauh di lubuk hatiku aku ingin bisa “bersuara” seperti dulu. Aku sedih dengan keadaanku ini.

Dalam kegiatan pelatihan, seminar, outbond, aku sekarang hanya diam dan sebagai penonton setia saja. Padahal dulu itu aku bisa “bersuara”, bisa ramai, dan sungguh excited sekali. Di organisasi pun sekarang cenderung pasif sekarang. Walaupun untuk masalah kerja aku tetap berusaha maksimal mengerjakannya, namun aku jarang berbicara mengutarakan pendapat. Aku seperti patung diam, bisu.

Baiklah, apa yang terjadi dengan diriku? Aku jadi takut bermimpi yang tinggi-tinggi sekali. Allah...bantu aku :’(